Obituari Patmi
Yogyakarta, 24 Maret 2017.
/1/
Kali ini kutemukan
Kertas putih berbalut darah
Goresan pena menjadi sayatan dada
Suara tawa
Menjadi sorak tangis jeritan nestapa
/2/
Kendeng menangis Bu, Pak!
Tanah-tanah hijau
Akan dijadikan gedung polusi
Mencercah beraikan padi
Merenggut asri yang abadi.
/3/
Kendeng menangis Bu, Pak!
Sungguh ironis
Ketika srikandi itu
Hendak melepaskan ruh
Pun jiwa terbebas
Jasad kebas
Raga lemas
/4/
Namun cacian tangismu bersatu
Gerimis mengiris
Tersedu mengadu
Pilu..
/5/
Menelisik jalan mati
Dimana pencabut nyawa sembunyi
Sasar logika dalam tipu maya fana
Dalam rimba balantara hitam
Hingga 21 maret menjadi saksi
Atas hari dimana srikandi itu mati.
/6/
Aku malu,
Kala mendengar celotehan
Yang menggembar-gemborkan itikad
Pun tindakan
Untuk ikut menjadi resolusi sejati
Dari krisis perubahan iklim
Dan hilangnya keragaman hayati.
/7/
Palsu!
Lihat,
Darah mengucur berserak
Gemeretak tulang-tulang retak
Burung-burung nazar tertawa renyah
Lalu maut menancapkan kuku-kukunya
Tanpa isyarat maupun tanda.
/8/
Kendeng menangis Bu, Pak!
Ia pulang hanya bertuliskan nama
Tidakkah kau iba para nahkoda?
Ah
Engkau sungguh bedebah
Tanpa belas kasih
Kau hiraukan ia begitu saja.
/9/
Sudahlah,
Barangkali aku hanya seonggok serangga yang tak berarti
Berkoar buas
Namun tak jua kunjung kau dengar
Hingga kematian bersenandung kejam padamu
Ya pada nahkodaku
Pada bedebahku
Hingga kau tahu
Arti hidup di peradaban palsu.
Komentar
Posting Komentar