Kondisi Carut-Marut Yang Meresahkan
Oleh: Anna Zakiah Derajat
Kampus merupakan elemen lembaga pendidikan yang seharusnya
diciptakan secara demokratis dan dijunjung tinggi dalam setiap denyut dinamika
kehidupan kampus. Dengan banyaknya persoalan dan kebijakan-kebijakan yang
berlaku, kesetaraan secara kelembagaan maupun individu menjadi prinsip
demokratisasi yang sangat menekankan pentingnya partisipatif dan kesetaraan
antar sesama.
Independensi lembaga kemahasiswaan adalah sebagai jawaban untuk
mewujudkan kedaulatan mahasiswa. Kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat
adalah harga mati bagi mahasiswa untuk menciptakan keadaan kampus yang
demokratis. Namun, sering kali kita melihat adanya kejanggalan dari berbagai
kampus itu sendiri mengenai kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang terap
cabut tanpa memikirkan kaum minoritas yang ada. Bukan hanya hal itu saja,
fasilitas yang kurang memadai menjadi sasaran empuk aktivis mahasiswa untuk
menjunjung haknya di kampus tersebut.
Kemudian, berbicara masalah sarana dan prasarana di Fakultas
nampaknya tidak aka nada habisnya. Jika kita melihat dan menilik minimnya
sarana dan prasarana tersebut, selalu timbul pertanyaan apakah hal tersebut
sudah menjadi penunjang di dalam kegiatan belajar mengajar atau malah
sebaliknya. Berikut segelintir problem yang harus segera diperbaiki:
Pertama, telah menjadi
hal lumrah jika sampah-sampah masih berserakan di sekitar fakultas itu sendiri.
Permasalahan ini terkadang tidak menjadi perhatian penting pihak birokrat
kampus, padahal aspek kenyamanan menjadi hal pokok yang harus disediakan ataupun
diciptakan dalam sistem pengajaran yang efektif.
Kedua, pelayanan dari
pihak pekerja fakultas itu sendiri tidak tercipta begitu bersahabat dengan
mahasiswa. Terkhusus dari pihak Tata Usaha Fakultas, yang melayani mahasiswa
dengan kurang baik.
Ketiga, tidak
tersedianya tempat sholat atau mushola di lingkungan fakultas. Walaupun pihak
kampus itu sendiri sudah menyediakan masjid untuk semua mahasiswanya namun
diperlukan juga mushola di dalam fakultas itu sendiri.
Keempat, ketidak
bersihan area kamar mandi fakultas menjadi sorotan yang begitu nyata. Bagaimana
tidak? Kurangnya penyediaan air di kamar mandi menjadi kendala besar, dan
banyaknya kamar mandi yang rusak dan tercium bau yang kurang mengenakan itulah
yang merusak kenyamanan setiap anggota fakultas itu sendiri.
Kelima, perlu kita sadari bahwa, sarana di dalam kelas menjadi hal yang paling penting dalam pengajaran ini. Karena hal itulah penunjang untuk mewujudkan kegiatan belajar yang efektif. Sering kita temukan, bahwasanya beberapa kelas mengalami kerusakan, baik itu Proyektor, AC, bahkan sebagian kursi ada yang kurang begitu memadai.
Selain itu, kekurangan kelas juga menjadi problem yang harus
diperhatikan oleh pihak birokrat kampus. Keluasan tempat menjadi salah satu
faktor kenyamanan untuk kalangan mahasiswa maupun dosen itu sendiri. Jika
Fakultas hanya menyediakan beberapa kelas dengan mahasiswa yang semakin
membludak akan menjadikan kelas yang overload,
jumlah yang berjubel dan menyesakan itu sangat mengganggu kosentrasi
pembelajaran mahasiswa itu sendiri.
Dan yang perlu kita ketahui, persoalan biaya pendidikan yang begitu
melonjak dan sistem penerapan UKT yang carut-marut menjadi sorotan aktivis
mahasiswa. Sebagai konsekuensi atas penerapan ideologi neoliberalisme, IMF dan
World Bank meluncurkan paket kebijakan untuk menyokong pendidikan tinggi di
negara-negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami
penyesuaian struktural tersebut, yang salah satunya ditandai dengan reformasi
paradigma di periode 1994-2010. Pada Mei 2005, Indonesia sebagai anggota WTO,
terpaksa harus menandatangani General Agreement on Trade Service (GATS) yang
mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan
kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan
tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Dibukanya pendidikan tinggi ke pasar bebas, tentu saja bertujuan
menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja global.
Liberalisasi pendidikan tinggi ini memiliki semangat untuk menciptakan
pendidikan yang melampaui batas-batas negara-bangsa (internasionalisasi). Untuk
mendukung hal tersebut, praktik kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah
dengan tidak menghambat (non-intervensi) pengambilan keputusan di level pendidikan
tinggi.
Privatisasi pendidikan tinggi, menurut Levin adalah pendidikan
tinggi yang pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya
untuk mencari profit ataupun tidak. Privatisasilah yang kemudian menjadi
refleksi dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pendidikan.
Universitas diberi otonomi penuh untuk mengelola sumber dayanya seiring
intervensi pemerintah yang semakin minim. Kondisi ini berimplikasi pada
keharusan universitas untuk mengelola pendanaannya sendiri. Di Indonesia,
paling tidak, harapannya adalah porsi ketergantungan universitas pada anggaran
pemerintah menjadi lebih berkurang. Dengan demikian, kebijakan UKT inilah yang
menjadi sasaran demo besar-besaran mahasiswa.
Selanjutnya, kampus harus menjamin kebebasan mahasiswa untuk
menyuarakan ide dan kekritisannya, baik dalam kelas perkuliahan maupun dalam
menggelar aksi untuk menyikapi persoalan kampusnya. Tindakan-tindakan untuk
menghambat kekritisan mahasiswa seperti mengancam dapat nilai jelek,
D.O.-skorsing, hukuman presensi, dipersulit dalam administrasi merupakan
praktek-praktek terbelakang dari para birokrat kampus yang mesti kita akhiri.
Sekarang, tinggal bagaimana kita menuntut realisasi janji-janji
dari pihak dekanat yang ingin membenahi beberapa permasalahan fasilitas yang
ada. Harapannya adalah tetap, semoga kita bisa merasakan apa yang sepatutnya
dan selayaknya kita dapatkan. Semoga!!
Komentar
Posting Komentar