NAMAMU YANG TERTULIS DI LAUHUL MAHFUDZ KU
NAMAMU YANG TERTULIS DI LAUHUL MAHFUDZ KU
Wanita cantik sholehah itu duduk termenung, menyendiri tak menentu
arah pandangannya. Malam-malam yang terus ia lalui dengan kesendiriannya,
kejenuhan yang kini ia rasakan tak terlalu ia pikirkan. Keinginan hati dan
pikirannya berjalan menyatu namun keadaan yang kini ia rasakan berbeda jauh
dengan keinginan hatinya. Sebut saja dia Davina, yang sedari tadi au ceritakan.
Davina sosok wanita yang diidamkan oleh beberapa teman lelakinya.
“Vina?” Sapa
Fikri.
“Iya?” Jawabnya.
“Kamu mau kemana?”
“Gak kemana-mana
kok Ri”.
“Aku kira kamu mau
pergi main”.
“Tidak”.
Sikap Vina yang
tidak banyak bicara membuat tanda tanya besar untuk mereka yang selama ini
mengharapkannya. Fikri sosok yang memang mengagumi Vina bahkan ia memiliki
perasaan yang lebih kepada Vina, begitu pula dengan Vina. Ia pun sama memiliki
perasaan kepada Fikri. Bulan pun mulai tertutup oleh awan-awan lebat, dan
sambutan mentari pun kini Vina rasakan. Tetesan air embun menitik menyambut
dedaunan yang sedari tadi ia perhatikan. Kicauan burung pun tak kalah
meramaikan suasana saat itu. Langkah kaki Vina mulai terlangkahkan dengan
perlahan. Jarak sekolah yang cukup jauh tak menjadikan semangatnya memudar.
Teriakan teman-temannya membuat satu titik kegembiraaan untuk dirinya.
“Pagi na?” Sapa
sosok itu.
“Pagi”. Jawabnya
tersenyum simpul.
“Kamu sendirian
aja? Kemana yang lain?”
“Aku kurang tahu,
mungkin udah ada dikelas kali ya”.
Lorong demi lorong
ia lewati, bola matanya tak pernah henti memandangi sosok yang menyapanya tadi.
Rasa dihatinya tak bisa ia pungkiri lagi, semakin hari ia merasakan semakin
besar perasaannya itu, tak dapat lagi ia menempisnya. Satu tahun, dua tahun
berjalan, tak ada perubahan pada perasaan itu. Davina semakin bingung harus
bagaimana menghadapi perasaannya itu. Sosok Fikri yang tampan, putih, tinggi
dan pintar itu belum ada yang bisa menandinginya dan menggantikan posisi Fikri
dihatinya.
“Davina?” Panggil
Fikri.
“Iy, Iy, Iya Ri”.
Jawabnya gugup, perasaannya tak menentu, terasa ada debaran hebat yang Davina
rasakan saat berhadapan dengan Fikri.
“Haha, kamu kenapa
Vina hayo?” Ledeknya.
“Aku? Gak apa-apa.
Emang kenapa? Biasa aja tuh”. Davina berusaha menempis semua kegugupannya itu.
“Habis pulang
sekolah aku mau nelpon kamu ya, kamu lagi sibuk gak?”
“Ada apa Ri kok
tumben sih?”
“Gak boleh emang?”
“Ya boleh-boleh
aja, lagian aku juga lagi gak sibuk kok”.
“Oke kalo gitu,
thanks ya”.
“Iya”.
Fikri pun berlalu meninggalkan Davina. Teeng Teng..
Jam pun menunjukkan pukul 14.00, seluruh siswa meninggalkan sekolah
menuju rumahnya masing-masing. Sesampainya dirumah, Davina langsung
membersihkan badannya dan beristirahat. Tak lama selang setah jam ia
beristirahat, handphonenya pun bordering.
“Hallo
Assalamualaikum Vin?” Terdengar suara lembut dari telephone genggam itu.
“Iya
Waalaikumussalam”.
“Ini Fikri Vin,
tadi kan aku udah janji sama kamu mau nelpon. Kamu lagi sibuk gak?”
“Enggak kok, oh
iya ada apa ya Ri gak biasanya kamu nelpon aku?”
“Iya Vin aku mau
nanya sama kamu”.
“Nanya soal?”
“Kamu ngerasa ada
yang beda gak sama kedekatan kita ini?”
“Maksudnya Ri?”
“Iya aku ngerasa
semenjak aku kenal deket sama kamu ada aura yang berbeda Vin”.
“Aura?” Davina
semakin tak mengerti”.
“Davina aku suka
sama kamu”.
DEEENGG… tersentak kaget, bagaimana tidak? Sosok yang dari dulu ia
harapkan kini telah di depan matanya sekarang.
“Kamu serius
ngomong gitu Fik?”
“Iya aku serius
Vin”.
“Tapi Ri aku masih
bingung sukanya itu apa?”
“Aku sayang sama
kamu Vin, kamu mau jadi pacar aku?”
“Kamu serius?”
“Iya Davina, emang
aku lagi keliatan becanda ya?”
“Aku masih belum
percaya Ri, kaya mimpi”.
“Kamu lagi gak
mimpi Vina, aku mau denger jawaban dari kamu”.
“Iya, aku mau Ri”.
“Kamu serius Vin?”
“Iya, aku udah
sayang kamu dari dulu”.
“Jadi? Sekarang
kita jadian?”
“Hmm”.
“Terimakasih Vin”.
“Iya Ri”.
Seiring
berjalannya waktu, Davina dan Fikri menjalani hubungannya dengan rasa bahagia,
tetapi saat mereka menginjak bangku SMA, mereka dipisahkan oleh jarak yang
memang cukup jauh. Davina yang kini menjalani kehidupannya di sebuah pondok
pesantren pilihannya begitupun Fikri yang sama seperti Davina kini. Tak ada
komunikasi seperti dulu, untuk bertatap muka pun rasanya sangat susah untuk
mereka lakukan. Hubungan yang berjalan kini terasa gundah yang Davina rasakan.
Tak pernah Davina kira sosok yang dari dulu ia kagumi itu saat ini membuat ia
kecewa. Liburan semester pun tiba, Davina dan Fikri sama-sama ingin bertemu
diwaktu luang ini.
“Vin, aku ingin
ketemu sama kamu”. Bujuk Fikri.
“Yaudah iya aku
tunggu kamu Fik”.
“Iya”.
Davina pergi seorang diri untuk menemui Fikri, tampak sedikit
terkejut Davina melihat sosok Fikri yang kini semakin menarik hatinya.
Bertatapan dengan Davina pun membuat Fikri terkesima tak menentu.
“Vina?” Sapanya
lembut.
“Iya Fikri?”
Keduanya diam membisu memperhatikan satu sama lain.
“Aku mau ngomong
sesuatu sama kamu Vin”.
“Iya kamu mau
ngomong apa?”
“Aku ingin
menyudahi hubungan ini Vin”.
Davina terkejut hebat, betapa tidak? Tak menyangka ternyata
pertemuan ini menjadi perpisahan antara dia dengan Fikri.
“Tapi kenapa Fik?”
“Aku ingin fokus
belajar dan gak mau jika suatu saat ada perubahan di diri aku karena hal ini
bisa bikin kamu sakit hati dan kecewa”.
“Emm, yaudah aku
ter ima keputusan kamu”.
Tak terasa air
mata Davina menetes dengan sendirinya, ia langsung berpamitan kepada Fikri dan
pergi meninggalkan Fikri begitu saja. Tak lama setelah berpisah, Davina
mendengar kabar dari salah satu temannya ternyata Fikri meninggalkan Davina
bukan karena ia ingin fokus kepada tugasnya tapi ia mempunyai seseorang yang
lain yang saat ini sedang mengisi hatinya. Terkoyak pedih hati Davina saat ini,
ia langsung menghubungi Fikri untuk menanyakan benar tidaknya kabar itu.
“Assalamualaikum
Fikri, ini aku Davina. Aku baru tahu apa alasan kamu memutuskan hubungan ini.
Jujur, tak pernah ada prasangka terhadapmu tetapi saat ini memang sudah menjadi
fakta yang kuat. Maafkan aku kalau selama ini aku tidak bisa menjadi sosok
perempuan yang kamu inginkan sehingga kamu lebih memilih dia dibandingkan aku”.
Pesan singkat itu ia kirimkan kepada Fikri. Tak enak hati Fikri terhadap Davina
atas sikapnya itu.
“Waalaikumussalam,
maafkan aku Davina”. Hanya seutas kata MAAF yang fikri lontarkan saat itu.
Walaupun Davina merasa kecewa terhadapnya, tetapi ia tak ingin dengan adanya
perpisahan ini silaturahmi yang dari dulu terjalin baik tiba-tiba harus
terputus begitu saja.
Dua tahun telah ia
lalui semua ini, Davina sudah mulai nyaman dengan keadaan saat ini, tetapi
tetap saja ia belum bisa pungkiri jika ia tak pernah bisa melupakan Fikri.
Sosok Ja’far pun saat ini mulai terlukis diharinya. Ia mulai merasakan hal lain
saat kenal dekat dengan Ja’far. Kedekatan mereka pun semakin menjadi, satu demi
satu kecocokan mereka temukan di diri masing-masing. Perasaan itu pun muncul
seketika itu juga, namun dengan adanya hubungan mereka itu ada salah seorang
yang tersakiti. Sosok yang memang sudah menunggu Davina dari awal, sosok yang
mengagumi Davina dalam diamnya. Sebut saja dia Farhan, dengan lagaknya yang
simple, bertanggung jawab, dewasa, dan terkadang sedikit jutek. Namun berbeda
dengan sosok Ja’far yang menurutku lebih sedikit besikap dingin terhadap
Davina.
Hal kecil yang tak
pernah Ja’far sadari, jika sikap dinginnya itu membuat Davina jera terhadapnya.
Dimata Davina, mulai penasaran pada dirinya. Ja’far yang sudah lama menyimpan
perasaannya, kini mulai memberanikan diri mengungkapkan semua itu kepada
Davina.
“Vina, aku suka
sama kamu”. Ucap Ja’far terhadapnya.
“Kamu suka aku?
Karena apa?”
“Karena kamu
berbeda dengan perempuan lain yang selama ini aku kenal”.
“Ya, aku memang
berbeda dengan mereka buktinya aku lebih bersikap keras disbanding mereka”.
“Segala
kekuranganmu tak menjadikan ku risau untuk hal itu. Kamu mau jadi penyemangat
ku dan sebaliknya aku pun berusaha untuk menjadi penyemangat kamu”.
“Bismillahirahmanirahim
mudah-mudahan ini bisa menjadi yang terbaik untuk kamu dan aku, iya aku mau”.
“Kamu serius
nerima aku”.
“Iya, aku serius”.
“Terimakasih Vin”.
Perjalanan hidup
memang tak pernah ada yang mengetahui bagaimana jalannya. Hubungan Davina dan
Ja’far pun seiring berjalannya waktu mulai mengalami kerenggangan. Rasa nyaman
yang dahulu Davina dapatkan dari Ja’far kini semakin berkurang. Keputusan ini
pun ia ambil, telah lama ia memikirkan hal ini. Rasa ketidak karuan pada
dirinya baru bisa ia ungkapkan kepada Ja’far.
“Ja’far, aku
merasakan hal yang berbeda sama hubungan kita sekarang, mungkin karena kita
sama-sama terlalu fokus pada diri masing-masing. Ja’far aku rasa lebih baik
kita menjadi teman saja”.
“Tapi Vin, kenapa?
Apa alasan kamu?”
“Aku ingin fokus
belajar disini dan tak ingin mengecewakan orang tua ku. Aku harap kamu terima
keputusanku”.
“Ya, aku terima.
Tetapi aku akan tetap menunggu kamu sampai kita wisuda”.
“Terserah kamu
kalau memang mau menungguku tapi aku tak terlalu berharap lebih terhadapmu”.
Perasaan Ja’far
yang begitu kuat terhadap Davina tak mengalahkan dan melemahkan diri Farhan
untuk terus menunggu Vina sampai saat ini. Perasaan yang selalu ia pendam kini
semakin menjadi-jadi. Tak bisa Farhan pungkiri lagi jika ia memang betul-betul
menyayangi Davina. Saat ini pun Davina tak merespondnya. Kesetiaannya yang
membuatku salut terhadapnya, ia rela menunggu dan mencintai Davina walau dalam
diam. Tak banyak bicara, namun diri Farhan hanya menunjukkan perasaannya itu
dengan perhatiannya selama ini. Farhan,
Ja’far, Davina, teman satu asrama, satu angkatan dalam naungan yang sama.
Peperangan dingin pun seolah terasa oleh Davina, betapa tidak? Sosok Ja’far yag
sangat mencintai Davina dan mau menunggunya tetapi disisi lain pun ada sosok
yang sampai saat ini setia menunggu hadirnya sosok Davina. Namun sangat disayangkan,
sudah dua tahun lamanya Davina dan Fikri berpisah tetapi tetap saja, walau
banyak yang mencoba mendekatinya tetapi belum ada yang bisa menandingi sosok
Fikri dihati dan pikirannya. Diibaratkan seperti kerajaan, tingkatan Fikri
lebih atas dibandingkan dengan Ja’far dan Farhan. Bingung, resah, gelisah dan
takut selalu menyelimuti dirinya. Tak ingin menyakiti orang-orang terdekatnya
itu, dia sendiripun tak pernah tahu apa sebenarnya yang ada dalam hati
kecilnya.
Teeng.. Teeng..
Dering bekernya
pun terdengar, seperti biasanya Davina bangun untuk menunaikan shalat malam. Ia
tersimpuh dalam sujudnya, tetesan butiran kecilnya pun ikut larut dalam
sujudnya. Keheningan malam yang bisa membuatnya tenang dan merasa nyaman.
“Wahai engkau yang
ditakdirkan untukku, namamu yang tertulis di Lauhul Mahfudz untuk diriku, aku
hanya ingin jika suatu saat nanti bertemu, Allah meridhoi cinta kita yang
menjadikan diri kita ini lebih mentaatkan diri kepadanya, mensholeh dan
sholehahkan diri kita, menjadikan aku dan dirimu menjadi satu nama “KITA” yang
terhindar dari kemurkaannya. Aamin”. Ucap Davina diantara isak tangisnya.
Kemantapan hati yang ia dapatkan kini, menjadi keputusan yang akan
ia berikan terhadap Farhan dan Ja’far.
“Teruntuk temanku
yang di rahmati Allah, maafkan jika diri ini menggoreskan luka dihati kalian
berdua, tak ada maksud hati untuk melakukan itu. Satu keputusan yang telah
Davina dapatkan atas petunjuk Allah,
cukup hentikan kesetiaan kalian untuk menungguku karena aku bukan tercipta
untuk salah satu dari kalian. Masih ada yang menunggu kalian diluar sana yang
lebih baik dariku”.
Sepucuk surat ia
kirimkan untuk Ja’far dan Farhan. Seperti tersambar petir, mereka setelah
membaca itu. Farhan terluglai lemas, betapa tidak? Sosok yang ia harapkan dan
ia tunggu kini benar-benar tak lagi ada harapan untuk ia dapatkan. Berbeda
dengan Ja’far, ia lebih bersikap tenang dan menerima keputusan itu. Rasa cinta
Davinakini hanya dimiliki oleh kedua orang tuanya. Tak ada rasa dihatinya saat
ini untuk memiliki seseorang yang spesial untuknya.
“Kalau kalian
percaya pada takdir Allah, jodoh itu gak bakal kemana kok asal mau bersabar dan
tetap istiqomah”. Ucapnya kepada Farhan dan Ja’far.
“Istiqomah?”
Serentak mereka menjawab.
“Iya, istiqomah”.
Davina lalu pergi begitu
saja tanpa sedikit pun ucap dari bibir kecilnya itu. Keadaan yang kini ia
jalani membuat dirinya merasa nyaman dan tak ingin lagi dihatinya kembali
menjalani rasa gelisahnya selain fokus pada tujuannya saat ini. Empat tahun
sudah Farhan tak pernah mengetahui keadaan Davina saat ini, setelah mereka
keluar dari asramanya itu. Perasaan Farhan tak pernah berubah kepada Davina dan
sampai saat ini pun Farhan terkadang sering mencari informasi tentangnya.
Empat tahun sudah
Farhan tak pernah mengetahui keadaan Davina saat ini, setelah mereka sama-sama
telah keluar dari asramanya itu. Rasa penasaran Farhan tak pernah berubah
kepada Davina, dan sampai saat ini pun Farhan terkadang sering mencari
informasi tentangnya. Davina kini telah mendapatkan apa yang dicita-citakannya
dulu. Tanpa sengaja Davina dan Farhan bertemu di Yogyakarta, tempat dimana
mereka sedang menuntut ilmu saat ini.
“Vina?” Sapa
Farhan tak percaya.
“Kamu, Farhan kan?”
Davina terpenganga melihat Farhan sekarang, “berubah” ya, itulah yang ada dalam
pikirannya sekarang.
“Lagi ngapain kamu
disini?”
“Aku kan memang di
Yogya setelah lusus asrama waktu itu”.
“Tapi kok kita
baru ketemu sekarang ya?”
“Emang kamu udah
lama disini?”
“Udah dari empat
tahun yang lalu”.
“Oh, mungkin Allah
menakdirkan kita ketemunya sekarang kali ya”.
“Kata kamu juga
asal mau sabar dan istiqomah Vin”.
“Haha kamu masih
ingat saja hal itu”.
“Karena memang
sedari dulu tak ada yang berubah terhadapmu”.
“Maksud kamu?”
“Aku masih tetap
menunggumu, seperti yang kamu bilang. Jodoh gak bakal kemana kalau jodoh pasti
ketemu lagi asal mau sabar dan istiqomah”.
“Farhan”. Jawabnya
lirih.
Davina dan Farhan
kini semakin sering berkomunikasi, dekat, dekat dan semakin dekat terjalin
seperti dulu. Farhan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua yang
terpendam selama ini terhadapnya.
“Vin, aku mau
ngomong sama kamu sebentar”. Ucapnya pada Vina.
“Iya Han ada apa?”
“Maafkan aku Vin,
aku belum bisa menghapus namamu dihatiku”.
“Kenapa begitu?”
“Karena kamu yang
terlalu aku harapkan Vin, aku ingin kau yang memang tertulis di Lauhul Mahfudz
untuk diriku”.
“Aku belum
mengerti maksudmu Han”.
“Ya, aku ingin
kamu menjadi pendampingku. Tapi itu terserah kamu, aku gak akan maksa kamu ko. Karena
ini mungkin harapan yang tak akan menjadi nyata”.
Davina diam tak
berucap, ia tak mungkin lagi harus lari dari kenyataan yang menakdirkan dia dan
Farhan untuk bersatu.
“Aku jawab besok
ya Han, aku duluan Assalamualaikum”.
“Waalaikumussalam”.
Davina pergi
meninggalkan Farhan, sesuai janjinya kalau besok ia akan menjawab semua yang
dinyatakan Farhan itu. Davina meminta pendapat kepada kedua orang tuanya karena
ini menyangkut masalah hidupnya.
“Sayang kalau kamu
sudah yakin terhadap pilihanmu, maka jangan pernah ragu-ragu untuk memilih”.
“Mamah, ayah
setuju?”
“Insyaallah ini yang
terbaik nak”.
Mentari pagi
menampakkan sinarnya, ini hari yang Davina tunggu. Tak lama kemudian,
handphonenya bordering.
“Ukhti bagaimana
dengan jawabanmu?” Pesan singkat yang Farhan kirimkan kepada Davina.
“Bismillahirahmani
rahim, akhi semoga keputusan ini yang terbaik untuk kita. Aku siap menjadi
pendampingmu”.
Tak menyangka Farhan akan jawaban itu. Seperti mimpi baginya,
mendapatkan sosok Davina yang benar-benar ia harapkan.
“Alhamdulillah
semoga Allah meridhai ini”.
Tidak lama setelah
itu, Davina dan Farhan melangsungkan pernikahan mereka. Banyak teman-temannya
yang datang untuk memberikan selamat kepada mereka termasuk Jafar.
“Selamat ya Vin,
Han. Bahagia terus”.
“Aamin, syukron
Far”.
“Jaga dia
baik-baik Han, lu pantes buat dia”. Tambah Jafar sedikit kecewa.
“Thanks sob, itu
pasti”.
Kehidupan Davina
dan Farhan terjalin bahagia, rasa kebahagiaan mereka tak dapat terlukiskan lagi
dan memang benar cinta yang mereka miliki menjadikan mereka lebih mentaatkan
diri kepada Sang Khaliq.
Komentar
Posting Komentar