Pembual Berkedok Malaikat

Si kurus dari penghujung Madura, berlagak angkuh saat menyuarakkan suaranya, menenteng tangan,  menengadahkan muka dengan kepala besar. Ia duduk di ujung bangku diantara remang merah lampu Gelanggang di tempat yang ia jadikan singgasana. Badan meringkuk, dengan busana tipis yang kusut tak beraturan.
Aku katakan ia seorang pembual berkedok malaikat, yang mengaku mengenali Abu Sayyaf yang ia ceritakan sebagai teroris dari pulau Luzon, Philiphina.
Dan ia katakan pula, ialah sosok yang lahir dari rahim kelompok PKI yang dapat membunuh siapa saja yang tak ia sukai. Pembual berkedok malaikat itu merangkak perlahan, menyetubuhi daging-daging penghangat yang ia temukan dengan pikiran-pikiran kacau, celotehan rata tak biasa.
Aku tertipu oleh si Pembual berkedok malaikat, kedok badut yang ia pampangkan menutupi setiap cerutan kotor yang membalutinya.
"Aku ini seorang anak yang lahir dari keluarga PKI", katanya sambil berbisik.
Aku sebagai gadis kecil polos yang dengan mudah menangkap perkataannya dan mempercayainya begitu saja.
Bodoh, Pembual itu berhasil menyetubuhi pikiranku,  namun aku suka itu.
"Benarkah? Aku yakin kau sedang berbohong padaku". Jawabku tak percaya.
"Jangan katakan itu keras-keras, ini menjadi rahasia kita berdua antara aku dan kamu yang disaksikan Tuhanmu dan Tuhanku".
Pembual kurus itu terenyah dalam kebisuan,  ia hanya memainkan kerlingan bola mata untuk sesekali menatapku kemudian tertawa.
Zaman edan yang membawaku padanya,  menyerahkan seluruh diriku untuk dapat ia setubuhi dengan pemikirannya yang kacau,  aku katakan sekali lagi"tetapi aku suka".
Setan-setan gelanggang bersorak ramai kala malam, dan lampu remang merah itu dinyalakan. Ia yang sedari tadi meringkuk kusut, kemudian menyerbu menyelubungi teman-temannya. Bercakap liar,  terbahak kejam, sampai batu-batu krikil dilemparkan dan mengenainya hingga ia terjatuh.
Kulihat ia tersungkur kesakitan, dan kali ini aku tahu apa kelemahannya. Daging penghangat yang ia jadikan pelindung tak berfungsi aktif, merespond dirinya yang tersungkur kala itu.
"Rahma, kau tak ingin bantu aku?" Ungkapnya jengkel.
"Biarkan aku yang membantumu", jawabku.
"Aku tak inginkan kamu, yang ku inginkan saat ini hanyalah daging penghangatku".
"Rahma itu hanya ilusi! Ia tak berwujus nyata sepertiku. Kau harus tahu, wanita yang kau setubuhi pikirannya adalah aku, bukan dia yang kau sebut daging penghangatmu".
Ia ternganga tak berucap, seperti Abu Sayyaf yang kala itu ia ceritakan sempat puasa bisu, yang entah apa tujuannya.
Tatapan melotot terpancar dari bola matanya, bukan untuk mencengkramku kemudian bisa mematikan, namun ia menyadari bahwa ia hidup di zaman edan.
Saat itu aku yang masih belum terbalut oleh keanarkisan pikiran, belum menuntut dan menentang apa yang ia katakan. Aku menjelma budak bodoh yang masih hijau, tak ada pertentangan, tak ada kecurigaan.
Sampai saatnya, ku ketahui bahwa ia sosok pembual berkedok malaikat yang terjatuh oleh bualan hebatnya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syadza

Bogor Kota Hujan

kupu-kupu merah dipipiku